tanggal 2 oktober 2015 kami 42 orang ditambah satu ayah menjadi 43 orang akan berangkat ke cianjur untuk melaksanakan tugas keperawatan komunitas 2. 25 hari kita akan ada di sebuah desa bernama sindang sari kecamatan kadupandak kabupaten cianjur. disana kami akan melaksanakan pendataan pada 3000 kepala keluarga hanya dalam waktu 2 hari saja tidak kurang dan tidak lebih. dalah 25 hari itu panti banyak tangisan, ketakutan, kecemasan dan melelahkan namun bila kami semua 43 orang tersebut menjalaninya dengan suka cita maka perasaan itu semua akan berubah menjadi, tawa, bahagia, kegembiraan, dan moment yang saangat berharga tang tidak dapat diulang lagi bila kita sudah wisuda. ayah akan mememani kami dari awal sampai akhir, walaupun ayah bukan ayah biologis kami namun ayah adala sumber semangat kami untuk menjalani semua ini dengan kegembiraan . kami berharap semoga acara kami sukses dan kami dapat menjadi perawat yang profesional dan berakhlak mulia.
amiinn ......
nurse
Kamis, 29 Oktober 2015
Selasa, 20 Oktober 2015
nurse
Seorang perawat adalah seorang yang memiliki hati lembut dan penuh kasih sayang. perawat lebih mengutamakan kepentingan pasienya dari pada kepentingan pribadi. di saat sedang bersama pasien, perawat tidak boleh membawa masalah pribadinya ke dalam pekerjaan. perawat harus bersikap seperti tidak ada masalah saat sedang bersama pasien.
makalah askep hiperbilirubin
ASUHAN
KEPERAWATAN PADA PASIEN ANAK DENGAN
HEPERBILIRUBIN
Nama
kelompok :
Indah Listiani
Indah Nilam Sari
Intan Nurul Hikmah
Ita Kurniawati
Lucyana Dewi SasMitha
AKADEMI
KEPERAWATAN BINA INSAN
JAKARTA
2015
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillahhirabil alamin penulis
ucapkan karena atas berkat rahmat Allah SWT serta karunia-Nya yang tak
terhingga, penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “HIPERBILIRUBINEMIA” ini tepat
pada waktunya.
Penyusunan karya ilmiah ini
dimaksudkan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Anak I. Selain itu penyusunan makalah ini juga
bertujuan untuk menambah pengetahuan dan membuka wawasan mengenai Hiperbilirubinemia.
Pada
kesempatan ini penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena
itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1.
Ibu Silvana Evi Linda,S.Kp.,M.Kes sebagai Direktur
AKPER Bina Insan Jakartadan pembimbing karya ilmiah Keperawatan Anak I
2.
Ibu Diah Ayu Agusti,Skp sebagai kordinator mata ajar
Keperawatan Anak I
3.
Ibu Ika Melasari SKp, M.Kep sebagai dosen pengajar
mata ajar Keperawatan Anak I
4.
Ibu Hari Mustikawati,Skp sebagai dosen pengajar mata
ajar Keperawatan Anak I
Kami menyadari akan keterbatasan kemampuan
kami,maka dari itu penulis mengharapakan saran dan kritik yang membangun dari
semua pihak, sehingga penulis dapat menghasilkan karya yang lebih baik di masa
yang akan datang. Penulis berharap karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat
bagi penulis pada khususnya dan semua pembaca pada umumnya.
Jakarta, September 2015
i
DAFTAR
ISI
DAFTAR ISI………….…………………………………………………………….i
KATA PENGANTAR……………………………………………………………...ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar belakang……………………………………………………………….2
B.
Tujuan……………………………………………………………………….2
C.
Sistematika Penulisan………………………………………………………..2
D.
Kepustakaan…………………………………………………………………3
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi………………………………………………………………………4
B.
Anatomi Fisiologi…………………………………………………………..4
C.
Etiologi………………………………………………………………………9
D.
Manifestasi Klinis…………………………………………………………...9
E.
Patofisiologi………………………………………………………………..10
F.
Klasifikasi…………………………………………………………………10
G.
Pemeriksaan Penunjang…………………………………………………...13
H.
Komplikasi………………………………………………………………..14
I.
Penatalaksanaan…………………………………………………………..15
BAB III ASUHAN
KEPERAWATAN
A.
Pengkajian……………………………………………………………....….18
B.
Diagnosa keperawatan……………………………………………………..18
C.
Intervensi…………………………………………………………………..19
D.
Implementasi……………………………………………………………….23
E.
Evaluasi…………………………………………………………………….23
BAB IV PENUTUP
A.
Kesimpulan……………………………………………………………….24
B.
Saran………………………………………………………………………24
DAFTAR
PUSTAKA…………………………………………………………...25
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Pembangunan
kesehatan yang telah dilaksanakan selama ini bertujuan untuk meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat. Indikator derajat kesehatan masyarakat komponen
kesehatan,diantaranya adalah Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi
(AKB). Indonesia masih menuai presentasi di ASEAN (Association of South East
Asia Nations) Angka kematian bayi di negara-negara ASEAN seperti Singapura
3/1000 per kelahiran hidup, Malaysia 5,5/1000 per kelahiran hidup, Thailand
17/1000 per kelahiran hidup, Vietnam 18/1000 per kelahiran hidup, dan Philipina
26/1000 per kelahiran hidup. Sedangkan angka kematian bayi di Indonesia cukup
tinggi yakni 26,9/2000per kelahiran hidup. Tingkat kesehatan ibu dan anak
merupakan salah satu indikator di suatu Negara. Angka kematian Maternal dan
Neonatal masih tinggi, salah satu faktor penting dalam upaya penurunan angka
tersebut dengan memberikan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang
berkualitas kepada masyarakat yang belum terlaksana. Menurut Pola penyakit
penyebab kematian bayi menunjukkan bahwa proporsi penyebab kematian neonatal
kelompok umur 0-7 hari tertinggi adalah premature dan Berat Badan Lahir Rendah
/ BBLR (35%), kemudian asfiksia lahir (33,6%). Penyakit penyebab kematian
neonatal kelompok umur 8-28 hari tertinggi adalah infeksi sebesar 57,1%
(termasuk tetanus 9,5%, sepsis, pneumonia, diare), kemudian feeding problem
(14,3%).
Berdasarkan data dari The Fifty Sixth
Session of Regional Committee, WHO (World Health Organization), pada tahun
2003, kematian bayi terjadi pada usia neonatus dengan penyebab infeksi 33%,
asfiksia/ trauma 28%, BBLR 24%, kelainan bawaan 10%, dan lain-lain 5%. Salah
satu penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah ensefalopati biliaris
(lebih dikenal sebagai kernikterus). Ensefalopati biliaris merupakan komplikasi
ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang
tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada
tinggi, paralysis dan displasia dental yang sangat mempengaruhi kualitas hidup.
Ikterus adalah suatu keadaan kulit dan membran mulkosa yang warnanya menjadi
kuning akibat peningkatan jumlah pigmen empedu di dalam darah dan jaringan
tubuh. Hiperbiliirubin adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubiin mencapai
suatu nilai yang mempunyai potensi menimbulkan kern-ikterus, jika tidak
ditanggulangi dengan baik.
Sebagian besar hiperbilirubin ini proses terjadinya mempunyai dasar yang patologik. Angka kejadian bayi hiperbilirubin berbeda di satu tempat ke tempat lainnya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan dalam faktor penyebab seperti umur kehamilan, berat badan lahir, jenis persalinan dan penatalaksanaan.
Sebagian besar hiperbilirubin ini proses terjadinya mempunyai dasar yang patologik. Angka kejadian bayi hiperbilirubin berbeda di satu tempat ke tempat lainnya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan dalam faktor penyebab seperti umur kehamilan, berat badan lahir, jenis persalinan dan penatalaksanaan.
Ikterus
terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah pada sebagian
neonates, ikterus akan di temukan pada minggu pertama dalam kehidupannya. Di
kemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60 % bayi cukup bulan dan
80 % pada bayi kurang bulan. Ikterus ini pada sebagian lagi mungkin bersifat
patologik yang dapat menimbulkan gangguan menetap atau menyebabkan kematian,
karenanya setiap bayi dengan ikterus harus mendapat perhatian terutama
bilaikterus di temukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi. Proses hemolisis
darah, infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih dari satu minggu serta
bilirubin direk lebih dari1 mg/dl juga keadaan yang menunjukan kemungkinan
adanya ikterus patologik. Dalam keadaan tersebut penatalaksanaan harus di
lakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus dapat di hindarkan.
B. Tujuan
Dengan adanya makalah ini pembaca
diharapkan dapat mengetahui tentang hiperbilirubinemia pada anak. Mulai dari
pengertian, etiologi, manifestasi klinik, patofisiologi dan klasifikasi,
pemerisaan penunjang, komplikasi, dan penatalaksanaan dari hiperbilirubinemia.
C. Sistematika
Penulisan
Dalam penulisan makalah ini dibagi
dalam 4 bab yang terdiri dari :
BAB I PENDAHULUAN yang berisikan
tentang latar belakang, tujuan dan sistematika penulisan
BAB II
PEMBAHASAN yang berisikan tentang pengertian, anatomi fisiologi hati, etiologi,
manifestasi klinik, patofisiologi, klasifikasi, pemeriksaan penunjang,
komplikasi dan penatalaksanaan dari hiperbilirubinemia
BAB III ASUHAN
KEPERAWATAN yang berisikan tentang proses keperawatan mulai dari pengkajian, diagnose keperawatan, intervensi,
implementasi dan sampai proses evaluasi
BAB IV PENUTUP
yang berisikan tentang kesimpulan dan penutup dari kasus hiperbilirubinemia
yang terjadi pada anak dan bayi.
D.
Kepustakaan
Dalam penulisan
makalah tentang hiperbilirubinemia yang terjadi pada anak atau bayi, kelompok
mencari data menggunakan beberapa referensi buku tentang keperawatan anak,
E-book, dan melalui internet. Agar dapat memperoleh data yang sesuai dan tepat.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia
adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar nilainya lebih dari
normal. (Suriadi dan Rita, 2001)
Hiperbilirubinemia
merupakan suatu kondisi bayi baru lahir dengan kadar bilirubin serum total
lebih dari 10mg% pada minggu pertama yang ditandai dengan ikterus, yang dikenal
dengan ikterus neonatorum patologis. Hiperbilirubinemia
yang merupakan suatu keadaan meningkatnya kadar bilirubin didalam jaringan
ekstravaskular, sehingga konjungtiva, kulit, dan mukosa akan berwarna kuning.
(Aziz, 2002)
Hiperbilirubinemia
adalah akumulasi berlebihan dari bilirubin di dalam darah. (Wong, 2003)
Hiperbilirubinemia
adalah peningkatan kadar bilirubin serum yang dihubungkan dengan hemolisis sel
darah merah dari bilirubin yang tidak terkonjugasi dari usus kecil, yang
ditandai dengan jaundice pada kulit,
sclera mukosa, dan urine. (Mitayani, 2012)
Hiperbilirubinemia adalah bayi
dismatur lebih sering menderita hiperbilirubinemia dibanding bayi yang bertanya
sesuai engan masa kehamilan. Berat hati bayi dismatur kurang dibandingkan bayi
biasa, mungkin disebabkan gangguan pertumbuhan hati
B. Anatomi
fisiologi
Hati, yang merupakan organ terbesar tubuh dapat dianggap
sebagai sebuah pabrik kimia yang membuat, menyimpan, mengubah, dan
mengekskresikan sejumlah besar substansi yang terlibat dalam metabolisme.
Lokasi hati sangat penting dalam pelaksanaan fungsi ini karena hati menerima
darah yang kaya nutrien langsung dari traktus gastrointestinal; kemudian hati
akan menyimpan atau mentransformasikan semua nutrien ini menjadi zat-zat kimia
yang digunakan di bagian lain dalam tubuh untuk keperluan metabolik. Hati
merupakan organ yang penting khususnya dalam pengaturan metabolisme glukosa dan
protein. Hati membuat dan mengeksresikan empedu yang memegang peranan utama
dalam proses pencernaan serta penyerapan lemak dalam traktus gastrointestinal.
Organ ini mengeluarkan limbah produk dari dalam aliran darah dan mengeksresikannya
ke dalam empedu. Empedu yang dihasilkan oleh hati akan disimpan untuk sementara
waktu dalam kandung empedu (vesika velea) sampai kemudian dibutuhkan untuk
proses pencernaan; pada saat ini, kandung empedu akan mengosongkan isinya dan
empedu memasuki intestinum (usus).
Ekskresi
Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen yang berasal dari pemecahan
hemoglobin oleh sel-sel pada sistem retikuloendotelial yang mencakup sel-sel
Kupffer dari hati. Hepatosit mengeluarkan bilirubin dari dalam darah dan melalui
reaksi kimia mengubahnya lewat konjugasi menjadi asam glukuronat yang membuat
bilirubin lebih dapat larut di dalam larutan yang encer. Bilirubin terkonjugasi
disekresikan oleh hepatosit ke dalam kanalikulus empedu di dekatnya dan
akhirnya dibawa dalam empedu ke duodenum.
Dalam usus halus, bilirubin dikonversikan menjadi
urobilinogen yang sebagian akan diekskresikan ke dalam feses dan sebagian lagi
diabsorpsi lewat mukosa intestinal ke dalam darah portal. Sebagian besar dari
urobilinogen yang diserap kembali ini dikeluarkan oleh hepatosit dan
disekresikan sekali lagi ke dalam empedu (sirkulasi enterohepatik). Sebagian
urobilinogen memasuki sirkulasi sistemik dan dieksresikan oleh ginjal ke dalam
urin. Eliminasi bilirubin dalam empedu menggambarkan jalur utama ekskresi bagi
senyawa ini.
Konsentrasi bilirubin
dalam darah dapat meningkat jika terdapat penyakit hati, bila aliran empedu
terhalang (yaitu, oleh batu empedu dalam saluran empedu) atau bila terjadi
penghancuran sel-sel darah merah yang berlebihan. Pada obstruksi saluran
empedu, bilirubin tidak memasuki intestinum dan sebagai akibatnya, urobilinogen
tidak terdapat dalam urin.
Metabolisme
Bilirubin
Segera
setelah lahir bayi harus mengkonjugasi bilirubin (merubah bilirubin yang larut
dalam lemak menjadi bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati.
Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan
kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan albumin (albumin binding site).
Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah matang dan
menghasilkan enzim glukoronil transferase yang memadai sehingga serum bilirubin
tidak mencapai tingkat patologis.
Untuk mendapat pengertian yang cukup mengenai masalah
ikterus pada neonatus, perlu diketahui sedikit tentang metabolisme bilirubin
pada neonatus. Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus
dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari
degredasi hemoglobin darah dan sebagian lagi dari hem bebas atau eritropoesis
yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi
yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain.
Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi
bilirubin bebas atau bilirubin IX alfa. Zat ini sulit larut dalam air tetapi
larut dalam lemak, karenanya mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi
dan mudah melalui membran biologik seperti plasenta dan sawar darah otak.
Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke
hepar.
Di dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga
bilirubin terikat oleh reseptor membran sel hati dan masuk ke dalam sel hati.
Segera setelah ada dalam sel hati, terjadi persenyawaan dengan ligandin
(protein-Y) protein Z dan glutation hati lain yang membawanya ke retikulum
endoplasma hati, tempat terjadinya proses konjugasi.
Prosedur ini timbul berkat adanya enzim glukotonil
transferase yang kemudian menghasilkan bentuk bilirubin indirek. Jenis
bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresikan
melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini dikeskresi
melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi
urobilinogen dan keluar dengan tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus sebagian
diabsorbsi kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses absorbsi
enterohepatik.
Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar
bilirubin indirek pada hari-hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena
terdapatnya proses fisiologik tertentu pada neonatus. Proses tersebut antara
lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih
pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar. Peninggian kadar
bilirubin ini terjadi pada hari ke 2-3 dan mencapai puncaknya pada hari ke 5-7,
kemudian akan menurun kembali pada hari ke 10-14 kadar bilirubin pun biasanya
tidak melebihi 10 mg/dl pada bayi cukup bulan dan kurang dari 12 mg/dl pada
bayi kurang bulan.
Pada keadaan ini peninggian bilirubin masih dianggap
normal dan karenanya disebut ikterus fisiologik. Masalah akan timbul apabila
produksi bilirubin ini terlalu berlebihan atau konjugasi hati menurun sehingga
kumulasi di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat
menimbulkan kerusakan sel tubuh tertentu, misal kerusakan sel otak yang akan
mengakibatkan gejala sisa dihari kemudian.
Diagram Metabolisme
Bilirubin

C.
Etiologi
Menurut Klous dan Fanaraft (1998)
bilirubin dibedakan menjadi dua jenis yaitu:
1. Bilirubin
tidak terkonjugasi atau bilirubin indirek (bilirubin bebas) yaitu bilirubin
tidak larut dalam air, berikatan dengan albumin untuk transport dan komponen
bebas larut dalam lemak serta bersifat toksik untuk otak karena bisa melewati
sawar darah otak.
2. Bilirubin
terkonjugasi atau bilirubin direk (bilirubin terikat) yaitu bilirubin larut
dalam air dan tidak toksik untuk otak.
Penyebab lain yaitu
peningkatan bilirubin dapat terjadi karena; polycetlietnia,
isoimmun hemolytic disease, kelainan struktur dan enzim sel darah merah,
keracunan obat ( hemolisis kimia:
salisilat, kortikoseteroid, klorampenikol ), hemolisis ekstravaskuler; cephalhematome, ecchyumosis
Gangguan fungsi hati ; defisiensi glukoronil transferase, obstruksi
empedu/atresia biliari, infeksi, masalah inetabolik; galaktosemia
hypothyroidisme, jaundice ASI.
D. Manifestasi
Kinik
Manifestasi
klinik yang sering dijumpai pada bayi dengan hiperbilirubinemia diantaranya :
1. Ikterus
pada kulit dan konjungtiva, mukosa, dan alat-alat tubuh lainnya. Bila ditekan
akan timbul kuning.
2. Bilirubin
direk ditandai dengan kulit kuning kehijauan dan keruh pada ikterus berat.
3. Bilirubin
indirek ditandai dengan kulit kuning terang pada ikterus berat.
4. Bayi
menjadi lesu.
5. Bayi
menjadi malas minum.
6. Tanda-tanda
klinis ikterus jarang muncul.
7. Letargi.
8. Tonus
otot meningkat.
9. Leher
kaku.
10. Opistotonus.
11. Muntah,
anorexia, fatigue, warna urine gelap, warna tinja pucat.
E. Patofisiologi
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh
dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah
apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal
ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit,
Polisitemia.
Gangguan pemecahan Bilirubin plasma
juga dapat menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi
apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia, Asidosis.
Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila
ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan
ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu Bilirubin ini
akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan
pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut
dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak
apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi
pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf
pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih
dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya kadar Bilirubin
melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan
neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar darah otak
apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan
Lahir Rendah , Hipoksia, dan Hipoglikemia.
F. Klasifikasi
Penggolongan
Hiperbilirubinemia berdasarkan saat terjadi Ikterus:
1. Ikterus
yang timbul pada 24 jam pertama.
Penyebab Ikterus terjadi pada 24 jam pertama menurut
besarnya kemungkinan dapat disusun sebagai berikut:
-
Inkomptabilitas darah Rh, ABO atau
golongan lain.
-
Infeksi Intra Uterin (Virus,
Toksoplasma, Siphilis dan kadang-kadang Bakteri)
-
Kadang-kadang oleh Defisiensi Enzim
G6PD.
Pemeriksaan
yang perlu dilakukan:
-
Kadar Bilirubin Serum berkala.
-
Darah tepi lengkap.
-
Golongan darah ibu dan bayi.
-
Test Coombs.
-
Pemeriksaan skrining defisiensi G6PD, biakan darah atau biopsi
Hepar bila perlu.
2. Ikterus
yang timbul 24 - 72 jam sesudah lahir.
-
Biasanya Ikterus fisiologis, timbul pada
hari ke 2 atau ke 3, tampak jelas pada hari ke 5-6 dan menghilang pada hari ke
10.
-
Bayi tampak biasa, minum baik, berat
badan naik biasa
-
Kadar bilirubin serum pada bayi cukup
bulan tidak lebih dari 12 mg %, pada BBLR 10 mg %, dan akan hilang pada hari ke
14.
-
Penyebab ikterus fisiologis diantaranya
karena kekurangan protein Y dan Z, enzim Glukoronyl transferase yang belum
cukup jumlahnya.
-
Masih ada kemungkinan
inkompatibilitas darah ABO atau Rh, atau
golongan lain. Hal ini diduga kalau
kenaikan kadar Bilirubin cepat misalnya melebihi 5mg% per 24 jam.
-
Defisiensi Enzim G6PD atau Enzim
Eritrosit lain juga masih mungkin.
-
Polisetimia.
-
Hemolisis perdarahan tertutup
(pendarahan subaponeurosis, pendarahan
Hepar, sub kapsula dll).
Bila keadaan bayi baik dan peningkatannya cepat maka
pemeriksaan yang perlu dilakukan:
-
Pemeriksaan darah tepi.
-
Pemeriksaan darah Bilirubin berkala.
-
Pemeriksaan skrining Enzim G6PD.
-
Pemeriksaan lain bila perlu.
3. Ikterus
yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama.
-
Sepsis.
-
Dehidrasi dan Asidosis.
-
Defisiensi Enzim G6PD.
-
Pengaruh obat-obat.
-
Sindroma Criggler-Najjar, Sindroma Gilbert.
4. Ikterus
yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya:
-
Karena ikterus obstruktif.
-
Hipotiroidisme
-
Breast milk Jaundice.
-
Infeksi.
-
Hepatitis Neonatal.
-
Galaktosemia.
Pemeriksaan
laboratorium yang perlu dilakukan:
-
Pemeriksaan Bilirubin berkala.
-
Pemeriksaan darah tepi.
-
Skrining Enzim G6PD.
-
Biakan darah, biopsi Hepar bila ada indikasi.
Berikut
adalah beberapa keadaan yang menimbulkan ikterus patologis :
1. penyakit
hemolitik, isoantibodi karena ketidakcocokan golongan darah ibu dan anak
seperti Rhesus antagonis, ABO, dsb.
2. kelainan
dalam se darah merah seperti pada defisiensi G-6-PD
3. hemolisis,
hematoma, polisitemia, perdarahan karena trauma lahir
4. infeksi
: septisemia, meningitis, infeksi saluran kemih, penyakit karena
toksoplasmosis, sifilis, rubela, hepatitis
5. kelainan
metabolik, hipoglikemia, galaktosemia
6. obat2an
yang menggantikan ikatan bilirubin dengan albumin seperti : sulfonamid,
salisilat, sodium benzoat, gentamisin.
7. Pirau
enteropatik yang meninggi, obstruksi usus letak tinggi, penyakit hirschsprung,
stenosis pilorik, mekonium ileus, dsb.
G. Pemeriksaan
Penunjang
Pemeriksaan
yang dapat dilakukan diantaranya :
1. Tes
Coomb pada tali pusat bayi baru lahir. Hasil positif tes Coomb indirek
menandakan adanya antibodi Rh-positif, anti-A, atau anti-B dalam darah ibu.
Hasil positif dari tes Coomb direk menandakan adanya sentisasi (Rh-positif,
anti-A, anti-B) sel darah merah dari neonatus.
2. Golongan
darah bayi dan ibu : mengidentifikasi inkompatibilitas ABO.
3. Bilirubin
total : kadar direk (terkonjugasi) bermakna jika melebihi 1,0-1,5 mg/dl, yang
mungkin dihubungkan dengan sepsis. Kadar indirek (tidak terkonjugasi) tidak
boleh melebihi peningkatan 5 mg/dl dalam 24 jam, atau tidak boleh lebih dari 20
mg/dl pada bayi cukup bulan atau 15 mg/dl pada bayi praterm (tergantung pada
berat badan).
4. Protein
serum total : kadar kurang dari 3,0 g/dl menandakan penurunan kapasitas ikatan,
terutama pada bayi praterm.
5. Hitung
darah lengkap: Hemoglobin (Hb) mungkin rendah (kurang dari 14 g/dl) karena
hemolisis. Hematokrit (Ht) mungkin meningkat (lebih besar dari 65 %) pada
polisitemia, penurunan (kurang dari 45 %) dengan hemolisis dan anemia
berlebihan.
6. Glukosa
: kadar Dextrostix mungkin kurang dari 45 % glukosa darah lengkap kurang dari
30 mg/dl, atau tes glukosa serum kurang dari 40 mg/dl bila bayi baru lahir
hipoglikemi dan mulai menggunakan simpanan lemak dan melepaskan asam lemak.
7. Daya
ikat karbon dioksida. Penurunan kadar menunjukkan hemolisis.
8. Meter
ikterik transkutan : mengidentifikasi bayi yang memerlukan penentuan bilirubin
seru.
9. Jumlah
retikulosit : peningkatan retikulosit menandakan peningkatan produksi SDM dalam
respons terhadap hemolisis yang berkenaan dengan penyakit Rh.
10. Smear
darah perifer : dapat menunjukkan SDM abnormal atau imatur, eritroblastosis
pada penyakit Rh, atau sferositis pada inkompabilitas ABO.
11. Tes
Betke-Kleihauer: evaluasi smear darah maternal terhadap eritrosit janin.
H. Kompliksi
Komplikasi
yang biasa terjadi adalah sebagai berikut :
1. Ikterik
ASI.
2. Kernik
ikterus (bilirubin ensefalitis).
Menghilangkan
bilirubin yang terkontaminasi, menggantikan faktor koagulasi pada kernik
ikterus, menghilangkan antibodi (Rh, ABO), dan hemolisis yang menghasilkan sel
darah merah, serta tersensititasi dari sel darah merah dilakukan dengan cara
berikut ini.
a. Menghilangkan
bahan yang kurang dalam proses metabolisme bilirubin (misalnya menambahkan
glukosa pada keadaan hipoglikemia) atau menambahkan bahan untuk memperbaiki
transportasi bilirubin (misalnya albumin). Penambahan albumin dilakukan
walaupun tidak terdapat hipoalbuminemia, tetapi perlu diingat adanya zat-zat
yang merupakan kompetitor albumin yang juga dapat mengikat bilirubin (misalnya
sulfonamid atau obat-obatan lainnya).
Penambahan
albumin juga dapat mempermudah proses ekstrasi bilirubin jaringan ke dalam
plasma. Hal ini mengakibatkan kadar bilirubin plasma meningkat, ini tidak
berbahaya karena bilirubin tersebut berada dalam ikatan dengan albumin. Albumin
diberikan dalam dosis yang tidak melebihi 1 gram/kgBB sebelum maupun sesudah
tindakan transfusi untuk mengganti darah.
b. Mengurangi
peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral dini.
c. Fototerapi
Ikterus klinis dan
hiperbilirubinemia indirek berkurang pada perpanjangan cahaya yang
berintensitas tinggi pada spektrum yang dapat dilihat. Bilirubin menyerap
cahaya secara maksimal pada kisaran biru (dari 420-470 mm). Cahaya putih yang
berspektrum luasan berwarna biru (super). Spektrum sempit khusus dan hijau
efektif menurunkan kadar bilirubin dapat memengaruhi foto reaksi bilirubin yang
terikat oleh albumin. Bilirubin dalam kulit menyerap energi cahaya yang dengan
foto isomerisasi mengubah bilirubin (-42 sampai dengan -15) tak terkonjugasi
alamiah yang bersifat toksik menjadi isometer konfigurasi terkonjugasi, yaitu
bilirubin (-42 sampai -15e). Foto terapi mengubah bilirubin alamiah melalui
suatu reaksi yang menetap pada ismer bilirubin struktural yang diekskresi oleh
ginjal pada keadaan yang tidak terkonjugasi.
Indikasi tranfusi untuk
mengganti darah bayi dapat dilakukan pada keadaan berikut ini :
1. Hidrops.
2. Adanya
riwayat penyakit berat.
3. Adanya
riwayat sensitisasi.
Tujuan
dilakukannya transfusi adalah sebagai berikut :
1. Mengoreksi
anemia.
2. Menghentikan
hemolisis.
3. Mencegah
peningkatan bilirubin.
I. Penatalaksanaan
a. Mempercepat
proses konjugasi, misalnya dengan pemberian fenobarbital. Pengobatan dengan
cara ini tidak begitu efektif dan membutuhkan waktu 48 jam baru terjadi
penurunan bilirubin yangberarti. Mungkin lebih bermanfaat bila diberikan pada
ibu kira-kira 2 hari sebelum melahirkan.
b. Memberikan
substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi. Contohnya : pemberian
albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas. Albumin dapat diganti dengan
plasma dosis 15 – 20 ml/kgbb. Pemebrian glukosa perlu untuk kojugasi hepar
sebagai sumber energi.
c. Melakukan
dekompensasi bilirubin dengan fototerapi
Terapi
sinar diberikan jika kadar bilirubin darah indirek lebih dari 10 mg %.
Terapisinar menimbulkan dekomposisi bilirubin dari suatu senyawa tetrapirol
yang sulitlarut dalam air menjadi senyawa dipirol yang mudah larut dalam air
dan dikeluarkan melalui urin, tinja, sehingga kadr bilirubin menurun. Selain
itu pada terapi sinar ditemukan pula peninggian konsentrasi bilirubin indirek
dalam cairan empedu duodenum dan menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan
empedu kedalam usus sehingga peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan
keluar bersama feses.
Pelaksanaan
Terapi Sinar :
1. Baringkan
bayi telanjang, hanya genitalia yang ditutup (maksmal 500 jam) agar sinar dapat
merata ke seluruh tubuh.
2. Kedua
mata ditutup dengan penutup yang tidak tembus cahaya. Dapat dengan kain kasa
yang dilipat lipat dan dibalut. Sebelumnya katupkan dahulu kelopak matanya.
(untuk mencegah kerusakan retina)
3. Posisi
bayi sebaiknya diubah ubah, telentang, tengkurap, setiap 6 jam bila mungkin,
agar sinar merata.
4. Pertahankan
suhu bayi agar selalu 36,5-37 C, dan observasi suhu tiap 4- 6 jam sekali. Jika
terjadi kenaikan suhu matikan sebentar lampunya dan bayi diberikan banyak
minum. Setelah 1 jam kontrol kembali suhunya. Jika tetap hubungi dokter.
5. Perhatikan
asupan cairan agar tidak terjadi dehidrasi dan meningkatkan suhu tubuh bayi.
6. Pada
waktu memberi bayi minum, dikeluarkan, dipangku, penutup mata dibuka.
Perhatikan apakah terjadi iritasi atau tidak.
7. Kadar
bilirubin diperiksa setiap 8 jam setelah pemberian terapi 24 jam
8. Bila
kadar bilirubin telah turun menjadi 7,5 mg % atau kurang, terapi dihentikan
walaupun belum 100 jam.
9. Jika
setelah terapi selama 100 jam bilirubin tetap tinggi / kadar bilirubin dalam
serum terus naik, coba lihat kembali apakah lampu belum melebihi 500 jam
digunakan. Selanjutnya hubungi dokter. Mungkin perlu transfusi tukar.
10. Pada
kasus ikterus karena hemolisis, kadar Hb diperiksa tiap hari.
Komplikasi
terapi sinar :
1. Terjadi
dehidrasi karena pengaruh sinar lampu dan mengakibatkan peningkatan insesible
water loss.
2. Frekuensi
defekasi meningkat sebagai akibat meningkatnya bilirubin indirek dalam cairan
empedu dan meningkatkan peristaltik usus.
3. Timbul
kelainan kulit sementara pada daerah yang terkena sinar (berupa kulit
kemerahan) tetapi akan hilang jika terapi selesai.
4. Gangguan
retina jika mata tidak ditutup.
5. Kenaikan
suhu akibat sinar lampu. Jika hal ini terjadi sebagian sinar lampu dimatikan
terapi diteruskan. Jika suhu naik terus lampu semua dimatikan sementara, bayi
dikompres dingin, dan berikan ektra minum.
6. Komplikasi
pada gonad yang menurut dugaan dapat menimbulkan kelainan ( kemandulan )
tetaapi belum ada bukti.
7. Transfusi
tukar.
Indikasi
untuk melakukan transfusi tukar adalah :
1. kadar
bilirubin indirek lebih dari 20 mg %
2. kenaikan
kadar bilirubin indirek cepat, yaitu 0,3 – 1 mg % / jam
3. anemia
berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung
4. bayi
dengan kadar hemoglobin tali pusat kurang 14 mg % dan uji coomb’s positif.
Tujuan transfusi tukar adalah
mengganti eritrosit yang dapat menjadi hemolisis, membuang natibodi yang
menyebabkan hemolisis, menurunkan kadar bilirubin indirek, dan memperbaiki
anemia.
BAB III
ASUHAN
KEPERAWATAN
A. Pengkajian
a.
Aktivitas/istirahat
Letargi,
malas.
b.
Sirkulasi
-
Mungkin pucat, menandakan anemia.
-
Bertempat tinggal di atas ketinggian
5000 ft.
c.
Eliminasi
-
Bising usus hipoaktif.
-
Pasase mekonium mungkin lambat.
-
Feses mungkin lunak/coklat kehijauan
selama pengeluaran bilirubin.
-
Urin gelap pekat; hitam kecoklatan
(sindrom bayi bronze)
d.
Makanan/cairan
-
Riwayat pelambatan/makan oral buruk,
lebih mungkin disusui daripada menyusu botol.
-
Palpasi abdomen dapat menunjukkan
pembesaran limpa, hepar.
e.
Neurosensori
-
Sefalhematoma besar mungkin terlihat
pada satu atau kedua tulang parietal yang berhubungan dengan trauma
kelahiran/kelahiran ekstraksi vakum.
-
Edema umum, hepatosplenomegali, atau
hidrops fetalis mungkin ada dengan inkompatibilitas Rh berat.
-
Kehilangan refleks Moro mungkin
terlihat.
-
Opistotonus dengan kekakuan lengkung
punggung, fontanel menonjol, menangis lirih, aktivitas kejang (tahap krisis).
f.
Pernapasan
-
Riwayat asfiksia.
-
Krekels, mukus bercak merah muda (edema
pleural, hemoragi pulmonal).
g.
Keamanan
-
Riwayat positif infeksi/sepsis neonatus.
-
Dapat mengalami ekimosis berlebihan,
petekie, perdarahan intrakranial.
-
Dapat tampak ikterik pada awalnya pada
wajah dan berlanjut pada bagian distal tubuh; kulit hitam kecoklatan (sindrom
bayi bronze) sebagai efek samping fototerapi.
h.
Seksualitas
-
Mungkin praterm, bayi kecil untuk usia
gestasi (SGA), bayi dengan retardasi pertumbuhan intrauterus (IUGR), atau bayi
besar usia gestasi (LGA), seperti bayi dengan ibu diabetes.
-
Trauma kelahiran dapat terjadi berkenaan
dengan stres dingin, asfiksia, hipoksia, asidosis, hipoglikemia,
hipoproteinemia.
-
Terjadi lebih sering pada pria daripada
bayi wanita.
B. Diagnosa
keperawatan
1. Risiko
tinggi cedera terhadap keterlibatan sistem saraf pusat berhubungan dengan
prematuritas, penyakit hemolitik, asfiksia, asidosis, hipoproteinemia, dan hipoglikemia.
2. Risiko
tinggi cedera terhadap efek samping tindakan fototerapi berhubungan dengansifat
fisik dari intervensi terapeutik dan efek mekanisme regulasi tubuh.
3. Risiko
tinggi terhadap komplikasi dari transfusi tukar berhubungan dengan prosedur
invasif, profil darah abnormal, ketidakseimbangan kimia.
4. Kurang
pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan tindakan berhubungan
dengan kurang pemajanan, kesalahan interpretasi, tidak mengenal sumber
informasi dibuktikan dengan pernyataan masalah/kesalahan konsep, meminta
informasi, ketidaktepatan mengikuti instruksi.
C. Intervensi
1. Risiko
tinggi cedera terhadap keterlibatan sistem saraf pusat berhubungan dengan
prematuritas, penyakit hemolitik, asfiksia, asidosis, hipoproteinemia, dan
hipoglikemia.
Tujuan : system saraf
pusat tidak terganggu
Kriteria hasil : a.
menunjukan kadar bilirubin indirek di bawah 12 mg/dl pada bayi cukup
bulan pada usia 3
hari
b. resolusi ikterik pada
akhir minggu pertama kehidupan
c. bebas dari
keterlibatan SSP
intervensi :
a. Pertahankan
bayi tetap hangat dan kering: pantau kulit dan suhu inti dengan sering
Rasional : stress dingi berpotensi
melepaskan asam lemak, yang bersaing pada sisi ikatan pada albumin, sehingga
meningkatkan kadar bilirubin yang bersirkulasi dengan bebas ( tidak berikatan
).
b. Observasi
bayi dalam sinar alamiah, perhatikan sclera dan mukosa oral, kulit menguning
segera setelah pemutihan, dan bagian tubuh tertentu terlibat. Kaji mukosa oral,
bagian posterior dari palatum keras, dan kantung konjungtiva pada bayi baru
lahir yang berkulit gelap.
Rasional
: Mendeteksi bukti / derajat ikterik. Penampilan klinis dari ikterik jelas pada
kadar bilirubin lebih besar dari 7 – 8 mg/dl pada bayi cukup bulan. Perkiraan
derajat ikterik adalah sebagai berikut, dengan ikterik yang dimulai dari kepala
ke jari kaki, 4 – 8 mg/dl ; batang tubuh 5 – 12 mg/dl; lipat paha, 8 – 16 mg/dl; lengan / kaki, 11 –
18 mg/dl; dan tangan / kaki, 15 – 20 mg/dl. Pigmen dasar kuning mungkin normal
pada bayi berkulit gelap.
c. Evaluasi
bayi terhadap pucat, edema atau hepatomegali.
Rasional
: Tanda – tanda ini mungkin berhubungan dengan hidrops fetalis,
inkompatibilitas Rh, dan pada hemolisis uterus SDM janin.
d. Pantau
kadar bilirubin
Rasional
: untuk mengetahui jumlah bilirubin yang ada dalam tubuh anak tersebut.
2. Risiko
tinggi cedera terhadap efek samping tindakan fototerapi berhubungan dengan sifat
fisik dari intervensi terapeutik dan efek mekanisme regulasi tubuh.
Tujuan : efek samping
pada tindakan fototerapi tidak terjadi
kriteria hasil :
BBL akan : - mempertahankan suhu
tubuh dan kesembingan cairan dalam batas normal
-
bebas dari cedera kulit atau jaringan
-
mendemonstrasikan pola interaksi yang diharapkan
-
menunjukan penurunan kadar bilirubin serum
Intervensi :
a. Observasi
adanya/perkembangan bilier atau obstruksi usus
Rasional : fototerapi dikontraindikasikan pada
kondisi ini karena fotoisomer bilirubun yang di produksi dalam kulit dan
jaringan subkutan dengan pemajanan dalam terapi sinar tidak dapat siap
dieksresikan.
b. Berikan
tameng untuk menutup mata, inspeksi mata setiap 2 jam bila tameng dilepaskan
untuk pemberian makan, sering pantau posisi tameng.
Rasional : mencegah kemungkinan kerusakan retina dan
konjungtiva dari sinar intensitas tinggi. Pemasangan yang tidak tepat dapat
menyebabkan irirasi, abrasi kornea, dan konjungtivitis dan penuruna pernafasan
oleh obstruksi pasase nasal.
c. Ubah
posisi bayi setiap 2 jam
Rasional : memungkinkan pemajanan seimbang dari
permukaan kulit terhadap sinar fluoresen, mencegah pemajanan berlebih dari
bagian tubuh individu.
d. Pantau
masukan dan haluaran cairan
Rasional : mencegah terjadinya dehidrasi pada
anak/bayi.
e. Pantau
pemeriksaan labolatorium sesuai indikasi seperti : kadar bilirubin, kadar Hb,
trombosit dan SDP ( Sel Darah Putih ).
Rasional : untuk mengetahui kondisi bayi
3.
Risiko tinggi cedera terhadap komplikasi
dari transfuse tukar berhubungan dengan prosedur invasif, profil darah
abnormal, ketidakseimbangan kimia
Tujuan : komplikasi
tidak terjadi
Kriteria hasil : -
menyelesaikan transfuse tukar tanpa komplikasi
- menunjukan
penurunan kadar bilirubin serum
Intervensi :
a. Observasi
tali pusat bayi sebelum transfusi bila vena umbilical digunakan. Bila tali
pusat kering, berikan pencucian saline selama 30-60 menit sebelum prosedur
Rasional : pencucian digunakan untuk melunakan tali
pusat dan vena umbilicus sebelum transfuse untuk akses IV dan memudahkan pasase
kateter umbilical
b. Pertahankan
suhu tubuh sebelum selama dan sesudah prosedur
Rasional : membantu mencefah hipotermia dan
vasospasme, menurunkan risiko fibrilasi ventrikel, dan menurunkan viskositas
darah
c. Pastikan
golongan darah dan Rh bayi dengan ibu
Rasional : transfuse tukar paling sering dihubungan
dengan masalah inkompatibilitas Rh.
d. Pantau
tanda-tanda ketidakseimbangan elektrolit (mis : gugup, kejang, apnea, dan
bradkurang pemajanan kesalahan interpretasiikardia.
Rasional : hipokalsemia dan hiperkalemia dapat
terjadi selama dan setelah transfuse tukar.
4.
Kurang pengetahuan mengenai kondisi,
prognosis, dan kebutuhan tindakan berhubungan dengan kurang pemajana, kesalahan
interpretasi, tidak mengenal sumber informasi dibuktikan dengan pertanyaan
masalah/kesalahan konsep, meminta informasi, ketidaktepatan mengikuti instruksi
Tujuan
: pengetahuan orang tua bertambah
Kriteria
hasil : - mengungkapkan pemahaman tentang penyebab, tindakan, dan kemungkinan
hasil hiperbilirubinemia
- mendemonstrasikan perawatan bayi yang tepat
Intervensi :
a. Berikan
penkes tentang hiperbilirubinemia mengenai pengertian, etiologi, patofisiologi,
manifestasi klinik, dampak jangka panjang dan perawatan dirumah pada bayi
hiperbilirbinemia
Rasional : membeikan pemahaman kepada
ibu
D.
Implemntasi
Adalah
suatu tindakan atau pelaksanaan dan sebuah rencana yang sudah disusun secara
matang dan terperinci. Pada implementasi maka tindakan yang dilakukan mengacu
kepada intervensi yang dibuat untuk mengatasi masalah.
E. Evaluasi
a. Resiko
tinggi cedera terhadap keterlibatan system saraf pusat tidak terjadi
b. Resiko
tinggi cedera terhadap efek samping tindakan fototerapi dapat dicegah
c. Resiko
tinggi cedera terhadap komplikasi dari transfuse tukar tidak terjadi
d. Pengetahuan
klien bertambah
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hiperbilirubinemia
adalah bayi dismatur lebih sering menderita hiperbilirubinemia dibanding bayi
yang bertanya sesuai engan masa kehamilan. Berat hati bayi dismatur kurang
dibandingkan bayi biasa, mungkin disebabkan gangguan pertumbuhan hati. Penyebabnya
yaitu dari Bilirubin tidak terkonjugasi atau bilirubin indirek (bilirubin bebas) yaitu
bilirubin tidak larut dalam air, berikatan dengan albumin untuk transport dan
komponen bebas larut dalam lemak serta bersifat toksik untuk otak karena bisa
melewati sawar darah otak. Sedangkan Bilirubin terkonjugasi atau bilirubin
direk (bilirubin terikat) yaitu bilirubin larut dalam air dan tidak toksik
untuk otak. Manifestasi klinik dari hiperbilirubinemia adalah Letargi,
Tonus otot meningkat, Leher kaku,Opistotonus, Muntah, anorexia, fatigue, warna
urine gelap, warna tinja pucat.
B. Saran
Kami selaku penulis berharap kepada
pembaca khususnya kami sendiri agar dapat menambah pengetahuan dan keterampilan
tentang asuhan keperawatan pada anak khususnya
dengan hiperbilirubinemia.
DAFTAR PUSTAKA
Betz,
& Linda. (2009). Buku Saku
Keperawatan Pediatri edisi 5. Ahli bahasa, Eny Meiliya
Editor edisi bahasa Indonesia, Egi Komara Yudha.
Jakarta : EGC
R
Dwienda octa, & Liva maita, dkk. (2012). Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi/Balita dan Anak Prasekolah untuk Bidan
ed 1. Yogyakarta : ECG
Hidayat A Aziz Alimul. (2005). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk
Pendidikan Kebidanan. Jakarta : Salemba Medika
Suryanah.
(1996). Keperawatan Anak Untuk Siswa SPK.
Jakarta : EGC
Langganan:
Postingan (Atom)